Menurut pemikiran saya, ada 5 cara untuk atasi kerawanan pangan :
1. Penganekaragaman pangan
2. Perlindungan lahan-lahan produktif
3. Peningkatan Konsumsi pangan lokal
4. Peningkatan produksi pangan
5. Pemanfaatan lahan non produktif untuk tanaman pangan
1. Penganekaragaman Pangan
Penganeka ragaman dilakukan agar masyarakat tidak hanya tergantung pada beras sebagai pangan pokok tetapi juga mulai mengkonsumsi pangan non beras misdalnya dari umbi-umbian, kacang-kacangan, serealia non beras, sagu, dan sebgainya. Apabila terjadi kekurangan beras, masyarakat tidak perlu kuatir lagi karena sudah tersedia bahan pangan lain yang tidak kalah dengan beras.
2. Perlindungan lahan-lahan produktif
Pemerintah harus secara tegas melindungi lahan-lahan subur untuk ditanami tanaman2 penghasil bahan pangan. Jangan ada lagi penggusuran lahan produktif hanya untuk kepentingan komersial.
3. Peningkatan konsumsi pangan local
Masyarakat harus mencioba mencintai bahan pangan lokal sendiri dan mengurangi bahan pangan impor. Untuk itu perlu digalakkan konsumsi pangan local dan mengurangi impor pangan.
4. Peningkatan produksi pangan
Pemerintah melalui perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus mampu memperbaiki produksi berbagai bahan pangan. Tidak hanya beras tetapi juga bahan pangan lain agar mencukupi untuk konsumsi seluruh masyarakat.
5. Pemanfaatan lahan non produktif untuk tanaman pangan
Lahan-lahan non produktif yang selama ini tidak ditanami lkarena dianggap kurang subur harus diberdayakan agar mampu dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Lahan rawa-rawa misalnya harus dicoba untuk ditanami padi yang cocok untuk daerah tersebut. Lahan kapur pun harus dicoba dengan tanaman pangan lain yang sekiranya mampu tumbuh ditempat tersebut.
Selengkapnya...
Pangan sebagai kebutuhan pokok sudah lama kita ketahui. Tetapi yang belum banyak kita ketahui adalah apakah pangan kita akan selalu tersedia secara cukup baik dari segi jumlah, harga maupun kandungan gizinya? Pertambahan penduduk yang semakin pesat membuat kekuatiran tentang kecukupan pangan menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi pertambahan penduduk tersebut akan diikuti dengan pertambahan ketersediaan tempat tinggal. Tempat tinggal tentunya akan mengurangi lahan-lahan pertanian sebgai penghasil pangan. Di Indonesia saja setiap tahun terjadi pengurangan lahan produktif yang cukup signifikan karena digunakan untuk perumahan, jalan dan prasarana fisik lain, kawasan industri dan perkantoran. Penambahan lahan produktif hanya bisa di laksanakan diluar Jawa, tetapi kendala kesuburan lahan menjadi masalah yang sulit diatasi. Sebuah pertanyaan besar pasti akan terbersit dibenak kita: Cukupkah pangan kita dimasa depan?
Pemerintah mulai menjawab pertanyaan tersebut dengan program Ketahanan Pangan yang sudah lama diluncurkan. Bahkan sudah pula dibentuk Badan Ketahanan Pangan yang terdiri berbagai unsur pemerintah. Ketahanan pangan sudah menjadi hal penting yang harus dipikirkan secara serius oleh pemerintah. Dana yang dikucurkan pun tidak sedikit.
Tanpa mengecilkan peran Bdan Ketahanan Pangan dan pemerintah, ada suatu kesalahan paradigma berpikir tentang masalah ketahanan pangan ini. Ketahanan pangan hanya dianggap suatu proyek pemerintah yang dilaksnakan secara berkesinambungan. Ketahanan pangan hanya diartikan bagaimana mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Entah bagaaimanapun caranya, pangan harus cukup untuk semua masyarakat. Adanya pemikiran demikian menyebabkan pemerintah lebih suka mengimpor bahan pangan dari negara lain daripada mencukupi pangan dari hasil pertanian dalam negeri. Ketahanan Pangan yang demikian adalah ketahanan pangan yang sangat rapuh. Mengapa demikian? sekarang kita tinjau dari jenis pangan yang diimpor. Pemerintah mengimpor beras dari negara-negar tetangga di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam dan Kamboja. Volume impor tersebut tentunya sangat besar karena besarnya penduduk neara kita. Bahkan pernah pemerintah mengimpor sampai 5 juta ton setahun beras dari negara lain. Yang menjadi kekuatiran tentuinya adalah bagaimana bila terjadi bencana pangan dinegar2 ekportir beras? tentunya kendala cuaca, hama penyakit dan situasi politik dan keamanan turut berpengaruh pada ketersediaan beras dinegara2 tersebut seprti halnya di Indonesia. Kalau hal itu terjadi, dari mana kita dapat beras lagi? mengingat negara penghasil beras terbesar ada di daerah Asia Tenggara. Kalau persediaan beras Bulog sudah menipis bagaimana konsumsi pangan di negara kita? Ikuti kelanjutan tulisan ini di artikel berikutnya.
Selengkapnya...
Umbi-umbian saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh rakyat kita sendiri. Padahal umbi-umbian lokal banyak sekali jenisnya. Nilai gizinya pun tidak kalah dengan jenis pangan lain yang biasa dikonsumsi masyarakat. Diantara jenis-jenis umbi-umbian yang sudah mulai langka antara lain:
Garut
Ganyong
Gadung
Gembili
Uwi
kimpul dan talas
suweg
Selain umbi-umbian yang mulai langka seperti diatas, beberapa umbi-umbian sudah banyak dikenal seperti singkong, ketela rambat dan kentang. Dari berbagai jenis umbi=umbian tersebut ternyata banyak sekali manfaat yang bisa diambil. Contohnya adalah manfaat dari segi kesehatan, seperti gadung sebagai obat diabetes, garut untuk menurunkan kolesterol, ganyong sebagai obat sakit tipes. Tetapi masyrakat kita sendiri malahan mulai meninggalkan berbagai jenis umbi-umbian tersebut. Kelangkaan umbi-umbian tersebut sebenarnya juga karena kurangnya penggalian manfaat dari berbagai jenis umbi tersebut. Selain itu adanya stigma masyarakat terhadap konsumsi umbi-umbian juga meneyebabkan mulai hilangnya tradisi umbi-umbian sebagai bnahan baku pangan. Contoh yang paling jelas adalah ketika terjadi kelangkaan beras, masyarakat yang mengkonsumsi singkong dianggap sebagai masyarakat yang kurang pangan. Stigma singk0ng sebagai pangan kelas dua menyebabkan masyarakat enggan menjadikannya pangan keluarga. Padahal masyarakat yang dulu biasa mengkonsumsi singkong tidak kalah sehatnya dengan masyarakat yang biasa mengkonsumsi beras. Contoh yang paling jelas adalah masyarakat Gunung Kidul Yogyakarta yang biasa dulu mengkonsumsi singkong mempunyai usia harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat perkotaan Kekuatan fisik merekapun bisa ditandingkan dengan masyarakat lain yang mengkonsumsi beras sebagai makanan utama.
Selengkapnya...
Pangan lokal saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat kita sendiri. Kita lebih banyak makan pangan dari luar negeri. Lihat saja gerai-gerai pangan luar sudah mulai menyerbu ke seluruh Indonesia. Mc Donald, KFC, Pizza Hut, Burger, kopi Starbuck, dan contoh lain yang sudah tidak asding bagi kita. Bahkan kita sendiri tidak menyadari bahwa makanan yang kita konsumsi sehari-hari adalah bahan pangan impor. Kita tidak sadar bahwa tepung terigu adalah 100% impor. Kedelai demikian juga halnya. Jadi apabila kita makan tempe goreng tepung, berarti kita makan pangan impor. Yang lebih parah lagi, mie instant yang berbahan baku impor menjadi makanan keseharian kita. Belum lagi bila anak kita minum susu dan makanan bayi. ternyata, bahan baku susu dan makanan bayi juga sebagian besar adalah impor dari negara lain. Generasi kita sudah mengkonsumsi pangan impor sejak BAYI !!!.
Sudahkah itu disadari oleh pemerintah atau masyarakat kita?
Selengkapnya...