Pangan sebagai kebutuhan pokok sudah lama kita ketahui. Tetapi yang belum banyak kita ketahui adalah apakah pangan kita akan selalu tersedia secara cukup baik dari segi jumlah, harga maupun kandungan gizinya? Pertambahan penduduk yang semakin pesat membuat kekuatiran tentang kecukupan pangan menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi pertambahan penduduk tersebut akan diikuti dengan pertambahan ketersediaan tempat tinggal. Tempat tinggal tentunya akan mengurangi lahan-lahan pertanian sebgai penghasil pangan. Di Indonesia saja setiap tahun terjadi pengurangan lahan produktif yang cukup signifikan karena digunakan untuk perumahan, jalan dan prasarana fisik lain, kawasan industri dan perkantoran. Penambahan lahan produktif hanya bisa di laksanakan diluar Jawa, tetapi kendala kesuburan lahan menjadi masalah yang sulit diatasi. Sebuah pertanyaan besar pasti akan terbersit dibenak kita: Cukupkah pangan kita dimasa depan?
Pemerintah mulai menjawab pertanyaan tersebut dengan program Ketahanan Pangan yang sudah lama diluncurkan. Bahkan sudah pula dibentuk Badan Ketahanan Pangan yang terdiri berbagai unsur pemerintah. Ketahanan pangan sudah menjadi hal penting yang harus dipikirkan secara serius oleh pemerintah. Dana yang dikucurkan pun tidak sedikit.
Tanpa mengecilkan peran Bdan Ketahanan Pangan dan pemerintah, ada suatu kesalahan paradigma berpikir tentang masalah ketahanan pangan ini. Ketahanan pangan hanya dianggap suatu proyek pemerintah yang dilaksnakan secara berkesinambungan. Ketahanan pangan hanya diartikan bagaimana mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Entah bagaaimanapun caranya, pangan harus cukup untuk semua masyarakat. Adanya pemikiran demikian menyebabkan pemerintah lebih suka mengimpor bahan pangan dari negara lain daripada mencukupi pangan dari hasil pertanian dalam negeri. Ketahanan Pangan yang demikian adalah ketahanan pangan yang sangat rapuh. Mengapa demikian? sekarang kita tinjau dari jenis pangan yang diimpor. Pemerintah mengimpor beras dari negara-negar tetangga di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam dan Kamboja. Volume impor tersebut tentunya sangat besar karena besarnya penduduk neara kita. Bahkan pernah pemerintah mengimpor sampai 5 juta ton setahun beras dari negara lain. Yang menjadi kekuatiran tentuinya adalah bagaimana bila terjadi bencana pangan dinegar2 ekportir beras? tentunya kendala cuaca, hama penyakit dan situasi politik dan keamanan turut berpengaruh pada ketersediaan beras dinegara2 tersebut seprti halnya di Indonesia. Kalau hal itu terjadi, dari mana kita dapat beras lagi? mengingat negara penghasil beras terbesar ada di daerah Asia Tenggara. Kalau persediaan beras Bulog sudah menipis bagaimana konsumsi pangan di negara kita? Ikuti kelanjutan tulisan ini di artikel berikutnya.
0 Responses so far.
Posting Komentar